Sabtu, 11 Agustus 2012

Masjid Baiturrahman; “Saksi Sejarah Kisah Panjang Bumi Serambi”


Menelusuri sejarah Masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, Laksana melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. Mulai masa kesultanan, Penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. DOM, Tsunami, dan Perjanjian Damai, Rumah Allah ini menyaksikan semuanya.

Masjid Raya Baiturrahman adalah simbol Aceh. Masjid ini menjadi saksi bisu keganasan badai Tsunami, 26 Desember 2004, yang menewaskan ratusan ribu warga Aceh. Jika Anda ke Banda Aceh, pastikan menyaksikan kemegahan Masjid Raya Baiturrahman di samping arsitekturnya yang indah, juga letaknya persis di jantung kota.


Karena itu, terasa belum lengkap jika berkunjung ke kota paling ujung Pulau Sumatra itu bila belum menyaksikan keindahan masjid yang merupakan termasuk salah satu masjid terindah di Asia Tenggara.

Sebagai masjid kebanggaan rakyat Aceh sejak dahulu sampai sekarang, Masjid Raya Baiturrahman menyimpan sejarah yang sangat panjang dan menarik. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh. Ada yang menyebutkan nama Masjid Raya Baiturrahman ini berasal dari nama masjid raya yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada 1612 M. Riwayat lain menyebutkan bahwa masjid ini sudah dibangun jauh sebelumnya. Sultan Iskandar Muda hanya melakukan perbaikan.


Corak Persia, Model India
Secara umum, arsitektur Masjid Raya Baiturrahman bercorak eklektik, yaitu suatu rancangan yang dihasilkan dari gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negara sehingga bangunan masjid menjadi begitu megah dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini diposisikan di tengah lapangan yang luas dan terbuka sehingga semua bagian masjid bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan.

Bagian pertama masjid adalah gerbang yang posisinya menempel dengan unit utama. Setelah gerbang, terdapat serambi yang berbentuk persegi panjang. Bagian depan, kiri, dan kanan serambi dikelilingi oleh tangga yang membentuk huruf U. Pada ujung tangga depan, terdapat tiga bukaan (jendela tanpa pintu) yang dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Dan, antara tiang satu dengan lainnya dihubungkan dengan pintu gerbang patah model Persia.

Karena ada empat tiang, itu berarti terdapat tiga pintu gerbang. Pada bagian atas dan sisi pintu gerbang, terdapat hiasan relief lengkung-legkung, seperti corak Arabesk (motif daun, cabang, dan pohon). Di atas ketiga pintu gerbang ini, terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang seperti penampang sebuah tangga. Corak ini merupakan model khas rumah klasik Belanda.

Pada setiap jenjang, dihias dengan miniatur sebuah gardu atau cungkup yang dihiasi kubah bawang pada bagian puncaknya. Corak ini menunjukkan adanya pengaruh India. Jadi, dari bagian luar saja, sudah begitu jelas nuansa ekletik bangunan masjid ini. Sisi kiri dan kanan serambi mempunyai dua tiang yang dihubungkan oleh sebuah pintu gerang, dekorasinya sama dengan serambi bagian depan.


Setelah melewati serambi, kemudian masuk ke ruang utama masjid yang digunakan untuk shalat. Namun, sebelum masuk ke ruang utama ini, terdapat lagi gerbang dan tiang yang sama dengan bagian depan. Gerbang tersebut tanpa pintu, seperti kebanyakan masjid kuno di India.

Bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar yang diatapi oleh kubah utama yang indah dan megah bercorak bawang. Pucuknya dihiasi cunduk, seperti masjid-masjid kuno di India. Penyangga kubah berdenah segi delapan. Pada masing-masing sisinya, terdapat sepasang jendela yang dipergunakan sebagai sirkulasi udara.

Pada bagian bawah, terdapat tritisan berdenah segi delapan. Pada bagian kiri dan kanan ruang shalat utama ini, terdapat unit sayap kembar sehingga bangunan ini menjadi simetris. Atap masjid berbentuk limasan berlapis dua. Pada jendela yang terdapat di masjid ini, tampak sekali pengaruh Moorish, terutama dari hiasan yang bercorak intricate.

Tak hanya itu, keberadaan kolam air yang berada di depan masjid makin menambah indah Masjid Baiturrahman. Sebab, posisinya yang berada di tengah-tengah jalan antara kiri dan kanan dengan luas sekitar lima hingga tujuh meter tersebut turut menambah keindahan dan kemegahan masjid warga Banda Aceh itu.

Dirancang Arsitek Belanda-Italia

Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma.

Pembangunan kembali masjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh masjid ini kembali diperluas. Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nanggroe beralih pada Indonesia.

Pada 1957, Setelah Indonesia merdeka, masjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur. Pada kurun 1992-1995, masjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.

Mengikuti Perjalanan Sejarah Aceh

Panas terik kota Banda Aceh serasa langsung enyah begitu kaki menginjak halaman masjid Baiturrahman. Udara dalam masjid berkubah lima ini sejuk. Lima pintu dan jendela yang lebar, kubah tinggi serta ruang dalam masjid yang luas membuat udara bergerak bebas. Januari lalu, rumah ibadah ini baru saja tuntas berbenah dari kerusakan akibat tsunami.



Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi. Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.

Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik Masjid mengikuti Sejarah Bumi Serambi Mekah. Bangunan sekarang bukan lagi bangunan zaman Kesultanan.

Di samping sebagai tempat ibadah; pada masa penjajahan, Masjid Raya Baiturrahman berfungsi sebagai markas pertahanan terhadap serangan kompeni. Fungsi tersebut mulai terasa semasa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870-1874). Di masjid ini, sering pula diadakan musyawarah besar untuk membicarakan strategi penyerangan dan kemungkinan serangan tentara Belanda terhadap Kesultanan Aceh.

Saat Pemerintah Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya di bumi Aceh pada 1873, Kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alaidin Mahmud Syah menolak mentah-mentah kedaulatan pemerintahan penjajah tersebut. Penolakan ini membuat pihak Belanda merasa tersinggung dan murka. Buntutnya, Pemerintah Hindia Belanda memaklumatkan perang terhadap Kesultanan Aceh.

Karena posisinya yang sangat penting dan strategis, tidak pelak Masjid Raya Baiturrahman menjadi ajang perebutan. Tercatat dalam sejarah, dua kali masjid kebanggaan kaum Muslim di Tanah Rencong ini dibakar Belanda.



Pertama, pada 10 April 1873, ketika pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran sebagai upaya balas dendam atas kekalahan mereka. Dalam serangan besar itu, Masjid Raya Baiturrahman tidak saja berhasil direbut, bahkan kemudian dibakar sebagian. Dan pada saat itu terjadi pertempuran besar antara tentara Aceh dengan tentara Belanda. Terjadi tembak menembak. Sehingga demikian gugurlah perwira tinggi Belanda bernama Kohler” Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti di bawah pohon Geuleumpang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.

Kedua, pada 6 Januari 1874. Meskipun masjid ini dipertahankan mati-matian oleh seluruh rakyat Aceh, karena keterbatasan dan kesederhanaan persenjataan, akhirnya rakyat Aceh harus merelakan masjidnya jatuh ke tangan musuh. Tidak hanya direbut, kali ini pihak penjajah membakar habis bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Saat bersamaan, Belanda juga mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh sudah berhasil ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

Namun, untuk mengambil hati rakyat Aceh, Pemerintah Hindia Belanda berjanji akan membangun kembali masjid yang telah hancur itu. Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden.

Saksi Bisu Kedahsyatan Tsunami

Masjid Raya Baiturrahman seakan menjadi saksi bisu peristiwa kelam yang telah meluluhlantakkan wilayah Provinsi Aceh beserta seluruh isinya pada 26 Desember 2004. Masjid yang terletak di tengah Kota Banda Aceh ini merupakan satu bukti kebesaran Tuhan yang tetap kokoh dan berdiri tegak kendati gempa dan gelombang tsunami berkekuatan 9,0 skala richter melanda.

Walau akibat gempa itu meninggalkan beberapa keretakan di dinding masjid, hal itu tidak mengurangi keindahan dan keunikan masjid kebanggan warga Aceh ini. Bahkan, ketika Republika mengunjungi masjid ini setahun pascatsunami, sisa-sisa keretakan masih ada. Namun, hal itu dijadikan warga sebagai bentuk peringatan agar senantiasa mengingat kebesaran Tuhan.

Sulaiman, salah seorang jamaah masjid tersebut, mengatakan, saat tsunami terjadi, Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat menyelamatkan diri bagi warga yang berlindung di rumah Allah tersebut.


Meski gelombang tsunami yang terjadi saat itu tingginya mencapai puluhan meter, airnya hanya masuk ke halaman masjid sebatas pinggang dan tidak sampai masuk ke dalam bangunan masjid.

Namun, tidak demikian dengan bangunan gedung dan rumah toko (ruko) di sekitar lingkungan masjid. Seluruh bangunan yang ada di kiri dan kanan masjid tenggelam, kecuali yang ketinggiannya di atas 20 meter, dan semuanya rusak.



Utuhnya masjid ini seharusnya menambah keyakinan bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk mempertebal keimanannya, karena kuasa-Nya sudah ditunjukkan dengan menjaga tempat ibadah bagi pengikut Nabi Muhammad tersebut.

Usai tsunami yang melanda wilayah Aceh ini, Masjid Raya Baiturrahman kembali direnovasi karena mengalami kerusakan walaupun tidak terlalu parah. Renovasi tersebut dilakukan pada tahun 2005. Semua itu menghabiskan dana Rp. 20 milyar. Pada 15 Januari 2007 proses perbaikan dinyatakan resmi selesai. Kini masjid Baiturahman seolah habis bersolek, tampil cantik kian menawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar