Menelusuri sejarah
Masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, Laksana melihat
perjalanan bumi Serambi Mekah. Mulai masa kesultanan, Penjajahan Belanda
dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. DOM,
Tsunami, dan Perjanjian Damai, Rumah Allah ini menyaksikan semuanya.
Masjid
Raya Baiturrahman adalah simbol Aceh. Masjid ini menjadi saksi bisu
keganasan badai Tsunami, 26 Desember 2004, yang menewaskan ratusan ribu
warga Aceh. Jika Anda ke Banda Aceh, pastikan menyaksikan kemegahan
Masjid Raya Baiturrahman di samping arsitekturnya yang indah, juga
letaknya persis di jantung kota.
Karena itu, terasa belum lengkap jika berkunjung ke kota paling ujung Pulau Sumatra itu bila belum menyaksikan keindahan masjid yang merupakan termasuk salah satu masjid terindah di Asia Tenggara.
Karena itu, terasa belum lengkap jika berkunjung ke kota paling ujung Pulau Sumatra itu bila belum menyaksikan keindahan masjid yang merupakan termasuk salah satu masjid terindah di Asia Tenggara.
Sebagai
masjid kebanggaan rakyat Aceh sejak dahulu sampai sekarang, Masjid Raya
Baiturrahman menyimpan sejarah yang sangat panjang dan menarik. Masjid
ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh. Ada yang menyebutkan
nama Masjid Raya Baiturrahman ini berasal dari nama masjid raya yang
dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada 1612 M. Riwayat lain menyebutkan
bahwa masjid ini sudah dibangun jauh sebelumnya. Sultan Iskandar Muda
hanya melakukan perbaikan.
Corak Persia, Model India
Secara umum, arsitektur Masjid Raya Baiturrahman bercorak eklektik, yaitu suatu rancangan yang dihasilkan dari gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negara sehingga bangunan masjid menjadi begitu megah dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini diposisikan di tengah lapangan yang luas dan terbuka sehingga semua bagian masjid bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan.
Bagian
pertama masjid adalah gerbang yang posisinya menempel dengan unit
utama. Setelah gerbang, terdapat serambi yang berbentuk persegi panjang.
Bagian depan, kiri, dan kanan serambi dikelilingi oleh tangga yang
membentuk huruf U. Pada ujung tangga depan, terdapat tiga bukaan
(jendela tanpa pintu) yang dibentuk oleh empat tiang langsing silindris
model arsitektur Moorish yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika
Utara dan Spanyol. Dan, antara tiang satu dengan lainnya dihubungkan
dengan pintu gerbang patah model Persia.
Karena
ada empat tiang, itu berarti terdapat tiga pintu gerbang. Pada bagian
atas dan sisi pintu gerbang, terdapat hiasan relief lengkung-legkung,
seperti corak Arabesk (motif daun, cabang, dan pohon). Di atas ketiga
pintu gerbang ini, terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang
seperti penampang sebuah tangga. Corak ini merupakan model khas rumah
klasik Belanda.
Pada
setiap jenjang, dihias dengan miniatur sebuah gardu atau cungkup yang
dihiasi kubah bawang pada bagian puncaknya. Corak ini menunjukkan adanya
pengaruh India. Jadi, dari bagian luar saja, sudah begitu jelas nuansa
ekletik bangunan masjid ini. Sisi kiri dan kanan serambi mempunyai dua
tiang yang dihubungkan oleh sebuah pintu gerang, dekorasinya sama dengan
serambi bagian depan.
Setelah
melewati serambi, kemudian masuk ke ruang utama masjid yang digunakan
untuk shalat. Namun, sebelum masuk ke ruang utama ini, terdapat lagi
gerbang dan tiang yang sama dengan bagian depan. Gerbang tersebut tanpa
pintu, seperti kebanyakan masjid kuno di India.
Bagian
tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar yang diatapi oleh kubah
utama yang indah dan megah bercorak bawang. Pucuknya dihiasi cunduk,
seperti masjid-masjid kuno di India. Penyangga kubah berdenah segi
delapan. Pada masing-masing sisinya, terdapat sepasang jendela yang
dipergunakan sebagai sirkulasi udara.
Pada
bagian bawah, terdapat tritisan berdenah segi delapan. Pada bagian kiri
dan kanan ruang shalat utama ini, terdapat unit sayap kembar sehingga
bangunan ini menjadi simetris. Atap masjid berbentuk limasan berlapis
dua. Pada jendela yang terdapat di masjid ini, tampak sekali pengaruh
Moorish, terutama dari hiasan yang bercorak intricate.
Tak
hanya itu, keberadaan kolam air yang berada di depan masjid makin
menambah indah Masjid Baiturrahman. Sebab, posisinya yang berada di
tengah-tengah jalan antara kiri dan kanan dengan luas sekitar lima
hingga tujuh meter tersebut turut menambah keindahan dan kemegahan
masjid warga Banda Aceh itu.
Dirancang Arsitek Belanda-Italia
Dirancang Arsitek Belanda-Italia
Pembangunan
mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan
bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer
dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina,
besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma.
Pembangunan
kembali masjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa
residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh masjid ini kembali diperluas.
Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan
meredakan kemarahan rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri
kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya
sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi
Nanggroe beralih pada Indonesia.
Pada 1957,
Setelah Indonesia merdeka, masjid ini kembali berubah. Dua kubah baru
dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang
mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh
yang berada di sekeliling mesjid tergusur. Pada kurun 1992-1995, masjid
kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima
menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000
jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Mengikuti Perjalanan Sejarah Aceh
Panas
terik kota Banda Aceh serasa langsung enyah begitu kaki menginjak
halaman masjid Baiturrahman. Udara dalam masjid berkubah lima ini sejuk.
Lima pintu dan jendela yang lebar, kubah tinggi serta ruang dalam
masjid yang luas membuat udara bergerak bebas. Januari lalu, rumah
ibadah ini baru saja tuntas berbenah dari kerusakan akibat tsunami.
Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi. Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi. Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
Masjid
ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada
dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan
Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain
menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan
pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana
yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan
oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu
pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik
Masjid mengikuti Sejarah Bumi Serambi Mekah. Bangunan sekarang bukan
lagi bangunan zaman Kesultanan.
Di
samping sebagai tempat ibadah; pada masa penjajahan, Masjid Raya
Baiturrahman berfungsi sebagai markas pertahanan terhadap serangan
kompeni. Fungsi tersebut mulai terasa semasa pemerintahan Sultan Alaidin
Mahmud Syah (1870-1874). Di masjid ini, sering pula diadakan musyawarah
besar untuk membicarakan strategi penyerangan dan kemungkinan serangan
tentara Belanda terhadap Kesultanan Aceh.
Saat
Pemerintah Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya di bumi Aceh pada
1873, Kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alaidin Mahmud Syah
menolak mentah-mentah kedaulatan pemerintahan penjajah tersebut.
Penolakan ini membuat pihak Belanda merasa tersinggung dan murka.
Buntutnya, Pemerintah Hindia Belanda memaklumatkan perang terhadap
Kesultanan Aceh.
Karena
posisinya yang sangat penting dan strategis, tidak pelak Masjid Raya
Baiturrahman menjadi ajang perebutan. Tercatat dalam sejarah, dua kali
masjid kebanggaan kaum Muslim di Tanah Rencong ini dibakar Belanda.
Pertama,
pada 10 April 1873, ketika pasukan Belanda melakukan serangan
besar-besaran sebagai upaya balas dendam atas kekalahan mereka. Dalam
serangan besar itu, Masjid Raya Baiturrahman tidak saja berhasil
direbut, bahkan kemudian dibakar sebagian. Dan pada saat itu terjadi
pertempuran besar antara tentara Aceh dengan tentara Belanda. Terjadi
tembak menembak. Sehingga demikian gugurlah perwira tinggi Belanda
bernama Kohler” Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan
prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti di bawah pohon
Geuleumpang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.
Kedua,
pada 6 Januari 1874. Meskipun masjid ini dipertahankan mati-matian oleh
seluruh rakyat Aceh, karena keterbatasan dan kesederhanaan
persenjataan, akhirnya rakyat Aceh harus merelakan masjidnya jatuh ke
tangan musuh. Tidak hanya direbut, kali ini pihak penjajah membakar
habis bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Saat bersamaan, Belanda juga
mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh sudah berhasil ditaklukkan dan berada
di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Namun,
untuk mengambil hati rakyat Aceh, Pemerintah Hindia Belanda berjanji
akan membangun kembali masjid yang telah hancur itu. Peletakan batu
pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku
Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh
saat itu, G. J. van der Heijden.
Saksi Bisu Kedahsyatan Tsunami
Masjid
Raya Baiturrahman seakan menjadi saksi bisu peristiwa kelam yang telah
meluluhlantakkan wilayah Provinsi Aceh beserta seluruh isinya pada 26
Desember 2004. Masjid yang terletak di tengah Kota Banda Aceh ini
merupakan satu bukti kebesaran Tuhan yang tetap kokoh dan berdiri tegak
kendati gempa dan gelombang tsunami berkekuatan 9,0 skala richter
melanda.
Walau
akibat gempa itu meninggalkan beberapa keretakan di dinding masjid, hal
itu tidak mengurangi keindahan dan keunikan masjid kebanggan warga Aceh
ini. Bahkan, ketika Republika mengunjungi masjid ini setahun
pascatsunami, sisa-sisa keretakan masih ada. Namun, hal itu dijadikan
warga sebagai bentuk peringatan agar senantiasa mengingat kebesaran
Tuhan.
Sulaiman,
salah seorang jamaah masjid tersebut, mengatakan, saat tsunami terjadi,
Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat menyelamatkan diri bagi warga
yang berlindung di rumah Allah tersebut.
Meski gelombang tsunami yang terjadi saat itu tingginya mencapai puluhan meter, airnya hanya masuk ke halaman masjid sebatas pinggang dan tidak sampai masuk ke dalam bangunan masjid.
Meski gelombang tsunami yang terjadi saat itu tingginya mencapai puluhan meter, airnya hanya masuk ke halaman masjid sebatas pinggang dan tidak sampai masuk ke dalam bangunan masjid.
Namun,
tidak demikian dengan bangunan gedung dan rumah toko (ruko) di sekitar
lingkungan masjid. Seluruh bangunan yang ada di kiri dan kanan masjid
tenggelam, kecuali yang ketinggiannya di atas 20 meter, dan semuanya
rusak.
Utuhnya masjid ini seharusnya menambah keyakinan bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk mempertebal keimanannya, karena kuasa-Nya sudah ditunjukkan dengan menjaga tempat ibadah bagi pengikut Nabi Muhammad tersebut.
Utuhnya masjid ini seharusnya menambah keyakinan bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk mempertebal keimanannya, karena kuasa-Nya sudah ditunjukkan dengan menjaga tempat ibadah bagi pengikut Nabi Muhammad tersebut.
Usai
tsunami yang melanda wilayah Aceh ini, Masjid Raya Baiturrahman kembali
direnovasi karena mengalami kerusakan walaupun tidak terlalu parah.
Renovasi tersebut dilakukan pada tahun 2005. Semua itu menghabiskan dana
Rp. 20 milyar. Pada 15 Januari 2007 proses perbaikan dinyatakan resmi
selesai. Kini masjid Baiturahman seolah habis bersolek, tampil cantik
kian menawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar