Kamis, 16 Agustus 2012
Aceh Miliki Lagu Kebangsaan dan Bendera
Buraq,salah satu hewan yang berwatak rajin dan setia dan juga gesit,,
Singa merupakan lambang yang digunakan sebagai pemberani dan buas….
Perisai dan Pedang merupakan lambang kedaulatan negara aceh yang
Sabtu, 11 Agustus 2012
Masjid Baiturrahman; “Saksi Sejarah Kisah Panjang Bumi Serambi”
Menelusuri sejarah
Masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, Laksana melihat
perjalanan bumi Serambi Mekah. Mulai masa kesultanan, Penjajahan Belanda
dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. DOM,
Tsunami, dan Perjanjian Damai, Rumah Allah ini menyaksikan semuanya.
Masjid
Raya Baiturrahman adalah simbol Aceh. Masjid ini menjadi saksi bisu
keganasan badai Tsunami, 26 Desember 2004, yang menewaskan ratusan ribu
warga Aceh. Jika Anda ke Banda Aceh, pastikan menyaksikan kemegahan
Masjid Raya Baiturrahman di samping arsitekturnya yang indah, juga
letaknya persis di jantung kota.
Karena itu, terasa belum lengkap jika berkunjung ke kota paling ujung Pulau Sumatra itu bila belum menyaksikan keindahan masjid yang merupakan termasuk salah satu masjid terindah di Asia Tenggara.
Karena itu, terasa belum lengkap jika berkunjung ke kota paling ujung Pulau Sumatra itu bila belum menyaksikan keindahan masjid yang merupakan termasuk salah satu masjid terindah di Asia Tenggara.
Sebagai
masjid kebanggaan rakyat Aceh sejak dahulu sampai sekarang, Masjid Raya
Baiturrahman menyimpan sejarah yang sangat panjang dan menarik. Masjid
ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh. Ada yang menyebutkan
nama Masjid Raya Baiturrahman ini berasal dari nama masjid raya yang
dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada 1612 M. Riwayat lain menyebutkan
bahwa masjid ini sudah dibangun jauh sebelumnya. Sultan Iskandar Muda
hanya melakukan perbaikan.
Corak Persia, Model India
Secara umum, arsitektur Masjid Raya Baiturrahman bercorak eklektik, yaitu suatu rancangan yang dihasilkan dari gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negara sehingga bangunan masjid menjadi begitu megah dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini diposisikan di tengah lapangan yang luas dan terbuka sehingga semua bagian masjid bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan.
Bagian
pertama masjid adalah gerbang yang posisinya menempel dengan unit
utama. Setelah gerbang, terdapat serambi yang berbentuk persegi panjang.
Bagian depan, kiri, dan kanan serambi dikelilingi oleh tangga yang
membentuk huruf U. Pada ujung tangga depan, terdapat tiga bukaan
(jendela tanpa pintu) yang dibentuk oleh empat tiang langsing silindris
model arsitektur Moorish yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika
Utara dan Spanyol. Dan, antara tiang satu dengan lainnya dihubungkan
dengan pintu gerbang patah model Persia.
Karena
ada empat tiang, itu berarti terdapat tiga pintu gerbang. Pada bagian
atas dan sisi pintu gerbang, terdapat hiasan relief lengkung-legkung,
seperti corak Arabesk (motif daun, cabang, dan pohon). Di atas ketiga
pintu gerbang ini, terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang
seperti penampang sebuah tangga. Corak ini merupakan model khas rumah
klasik Belanda.
Pada
setiap jenjang, dihias dengan miniatur sebuah gardu atau cungkup yang
dihiasi kubah bawang pada bagian puncaknya. Corak ini menunjukkan adanya
pengaruh India. Jadi, dari bagian luar saja, sudah begitu jelas nuansa
ekletik bangunan masjid ini. Sisi kiri dan kanan serambi mempunyai dua
tiang yang dihubungkan oleh sebuah pintu gerang, dekorasinya sama dengan
serambi bagian depan.
Setelah
melewati serambi, kemudian masuk ke ruang utama masjid yang digunakan
untuk shalat. Namun, sebelum masuk ke ruang utama ini, terdapat lagi
gerbang dan tiang yang sama dengan bagian depan. Gerbang tersebut tanpa
pintu, seperti kebanyakan masjid kuno di India.
Bagian
tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar yang diatapi oleh kubah
utama yang indah dan megah bercorak bawang. Pucuknya dihiasi cunduk,
seperti masjid-masjid kuno di India. Penyangga kubah berdenah segi
delapan. Pada masing-masing sisinya, terdapat sepasang jendela yang
dipergunakan sebagai sirkulasi udara.
Pada
bagian bawah, terdapat tritisan berdenah segi delapan. Pada bagian kiri
dan kanan ruang shalat utama ini, terdapat unit sayap kembar sehingga
bangunan ini menjadi simetris. Atap masjid berbentuk limasan berlapis
dua. Pada jendela yang terdapat di masjid ini, tampak sekali pengaruh
Moorish, terutama dari hiasan yang bercorak intricate.
Tak
hanya itu, keberadaan kolam air yang berada di depan masjid makin
menambah indah Masjid Baiturrahman. Sebab, posisinya yang berada di
tengah-tengah jalan antara kiri dan kanan dengan luas sekitar lima
hingga tujuh meter tersebut turut menambah keindahan dan kemegahan
masjid warga Banda Aceh itu.
Dirancang Arsitek Belanda-Italia
Dirancang Arsitek Belanda-Italia
Pembangunan
mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan
bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer
dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina,
besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma.
Pembangunan
kembali masjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa
residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh masjid ini kembali diperluas.
Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan
meredakan kemarahan rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri
kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya
sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi
Nanggroe beralih pada Indonesia.
Pada 1957,
Setelah Indonesia merdeka, masjid ini kembali berubah. Dua kubah baru
dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang
mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh
yang berada di sekeliling mesjid tergusur. Pada kurun 1992-1995, masjid
kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima
menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000
jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Mengikuti Perjalanan Sejarah Aceh
Panas
terik kota Banda Aceh serasa langsung enyah begitu kaki menginjak
halaman masjid Baiturrahman. Udara dalam masjid berkubah lima ini sejuk.
Lima pintu dan jendela yang lebar, kubah tinggi serta ruang dalam
masjid yang luas membuat udara bergerak bebas. Januari lalu, rumah
ibadah ini baru saja tuntas berbenah dari kerusakan akibat tsunami.
Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi. Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi. Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.
Masjid
ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada
dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan
Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain
menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan
pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana
yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan
oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu
pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik
Masjid mengikuti Sejarah Bumi Serambi Mekah. Bangunan sekarang bukan
lagi bangunan zaman Kesultanan.
Di
samping sebagai tempat ibadah; pada masa penjajahan, Masjid Raya
Baiturrahman berfungsi sebagai markas pertahanan terhadap serangan
kompeni. Fungsi tersebut mulai terasa semasa pemerintahan Sultan Alaidin
Mahmud Syah (1870-1874). Di masjid ini, sering pula diadakan musyawarah
besar untuk membicarakan strategi penyerangan dan kemungkinan serangan
tentara Belanda terhadap Kesultanan Aceh.
Saat
Pemerintah Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya di bumi Aceh pada
1873, Kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alaidin Mahmud Syah
menolak mentah-mentah kedaulatan pemerintahan penjajah tersebut.
Penolakan ini membuat pihak Belanda merasa tersinggung dan murka.
Buntutnya, Pemerintah Hindia Belanda memaklumatkan perang terhadap
Kesultanan Aceh.
Karena
posisinya yang sangat penting dan strategis, tidak pelak Masjid Raya
Baiturrahman menjadi ajang perebutan. Tercatat dalam sejarah, dua kali
masjid kebanggaan kaum Muslim di Tanah Rencong ini dibakar Belanda.
Pertama,
pada 10 April 1873, ketika pasukan Belanda melakukan serangan
besar-besaran sebagai upaya balas dendam atas kekalahan mereka. Dalam
serangan besar itu, Masjid Raya Baiturrahman tidak saja berhasil
direbut, bahkan kemudian dibakar sebagian. Dan pada saat itu terjadi
pertempuran besar antara tentara Aceh dengan tentara Belanda. Terjadi
tembak menembak. Sehingga demikian gugurlah perwira tinggi Belanda
bernama Kohler” Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan
prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti di bawah pohon
Geuleumpang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.
Kedua,
pada 6 Januari 1874. Meskipun masjid ini dipertahankan mati-matian oleh
seluruh rakyat Aceh, karena keterbatasan dan kesederhanaan
persenjataan, akhirnya rakyat Aceh harus merelakan masjidnya jatuh ke
tangan musuh. Tidak hanya direbut, kali ini pihak penjajah membakar
habis bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Saat bersamaan, Belanda juga
mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh sudah berhasil ditaklukkan dan berada
di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Namun,
untuk mengambil hati rakyat Aceh, Pemerintah Hindia Belanda berjanji
akan membangun kembali masjid yang telah hancur itu. Peletakan batu
pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku
Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh
saat itu, G. J. van der Heijden.
Saksi Bisu Kedahsyatan Tsunami
Masjid
Raya Baiturrahman seakan menjadi saksi bisu peristiwa kelam yang telah
meluluhlantakkan wilayah Provinsi Aceh beserta seluruh isinya pada 26
Desember 2004. Masjid yang terletak di tengah Kota Banda Aceh ini
merupakan satu bukti kebesaran Tuhan yang tetap kokoh dan berdiri tegak
kendati gempa dan gelombang tsunami berkekuatan 9,0 skala richter
melanda.
Walau
akibat gempa itu meninggalkan beberapa keretakan di dinding masjid, hal
itu tidak mengurangi keindahan dan keunikan masjid kebanggan warga Aceh
ini. Bahkan, ketika Republika mengunjungi masjid ini setahun
pascatsunami, sisa-sisa keretakan masih ada. Namun, hal itu dijadikan
warga sebagai bentuk peringatan agar senantiasa mengingat kebesaran
Tuhan.
Sulaiman,
salah seorang jamaah masjid tersebut, mengatakan, saat tsunami terjadi,
Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat menyelamatkan diri bagi warga
yang berlindung di rumah Allah tersebut.
Meski gelombang tsunami yang terjadi saat itu tingginya mencapai puluhan meter, airnya hanya masuk ke halaman masjid sebatas pinggang dan tidak sampai masuk ke dalam bangunan masjid.
Meski gelombang tsunami yang terjadi saat itu tingginya mencapai puluhan meter, airnya hanya masuk ke halaman masjid sebatas pinggang dan tidak sampai masuk ke dalam bangunan masjid.
Namun,
tidak demikian dengan bangunan gedung dan rumah toko (ruko) di sekitar
lingkungan masjid. Seluruh bangunan yang ada di kiri dan kanan masjid
tenggelam, kecuali yang ketinggiannya di atas 20 meter, dan semuanya
rusak.
Utuhnya masjid ini seharusnya menambah keyakinan bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk mempertebal keimanannya, karena kuasa-Nya sudah ditunjukkan dengan menjaga tempat ibadah bagi pengikut Nabi Muhammad tersebut.
Utuhnya masjid ini seharusnya menambah keyakinan bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk mempertebal keimanannya, karena kuasa-Nya sudah ditunjukkan dengan menjaga tempat ibadah bagi pengikut Nabi Muhammad tersebut.
Usai
tsunami yang melanda wilayah Aceh ini, Masjid Raya Baiturrahman kembali
direnovasi karena mengalami kerusakan walaupun tidak terlalu parah.
Renovasi tersebut dilakukan pada tahun 2005. Semua itu menghabiskan dana
Rp. 20 milyar. Pada 15 Januari 2007 proses perbaikan dinyatakan resmi
selesai. Kini masjid Baiturahman seolah habis bersolek, tampil cantik
kian menawan.
Jejak Aceh di Tanah Arab
”Asyi”, sebutan marga Aceh dikalangan orang Arab. Gelar Asyi ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas bagi setiap orang Aceh di Arab Saudi yang terhormat, sehingga gelar "al-Asyi" ini kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu marga Aceh yang wujud di Tanah Arab.
Sebutan
negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun
sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya
memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa.
Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat
kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.
Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.
Kita
akan menguak tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz
(Mekkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita
tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi
Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan
juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah
Al-Mukarramah ini.
Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat
penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur.
Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab
pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh
setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi
keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi
sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun
rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat
pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada
tahun 1092 H (1681M).
Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah
(1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini
menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan.
Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa
Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para
tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).
Utusan
Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka
tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat
tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.
Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.
Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.
Pada
tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada
bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari
rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim,
tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang
dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap
tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan
salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.
Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).
Baru
setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H
(1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah
pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin
Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari
Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa
baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan
kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif
dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja
pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).
Menurut
sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut.
Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan
Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan
berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai
dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di
Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan
pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang
dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana
sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra,
1999).
Terkait
dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari
Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah.
Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana
disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan
Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal.
Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat
(1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta
Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh
masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah
pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu,
Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.
Ternyata
sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat
dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang
dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits
sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat
dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan
sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.
Menurut
sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah,
yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari
Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh
di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini
juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :
- Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
- Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
- Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
- Wakaf Muhammad Abid Asyi,
- Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
- Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
- Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
- Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
- Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
- Rumah Wakaf di Taif,
- Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
- Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
- Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
- Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
- Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
- Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.
Inilah
bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di
Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati
oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib
Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang.
Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh
saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena
itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak
mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan
yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran
pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih
tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.
Sebagai
bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun
2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng.
Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah
wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim
bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech
Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga),
Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad
bin Abdullah Asyi.
Di
Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul
Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah
untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang
terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan
halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak
persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris
Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam
Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).
Memang
pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah
wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik
orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah
masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran,
Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.
Menurut
peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat
menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan
proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut,
penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah
menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga
tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga
pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf
akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau
hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang
baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.
Mekkah Tempo Dulu |
Itulah
secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab,
walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi
Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh
memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah
Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama,
ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan
wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.
Karena
itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan
oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada
tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik
oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah
“berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang
Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana
selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral
history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi
sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara,
termasuk di Timur Tengah.
Inilah
sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar
terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf
di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir
apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama
baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir
semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan
dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.
Jumat, 10 Agustus 2012
Belajar dari Kecemerlangan Aceh di Abad ke-16
Abad ke 16 Aceh dibawah kepemimpinan
Ala’addin Ri’ayat Syah Al Kahar dibangun menjadi negara yang kukuh dan
menguasai perdagangan antara Aceh dan Laut Merah. Bahkan ditahun 1567 Aceh
menjalin aliansi dengan Turki. Jalur perdagangan Aceh dan Laut merah serta
Malaka kala itu adalah jalur yang sibuk dengan ekspor impor.
Dengan hebatnya tata niaga perdagangan waktu itu melahirkan kalangan orang kaya di negara Aceh. Mereka kemudian masuk ke dalam sistem kenegaraan. Mereka bercirikan membiarkan kuku ibu jari dan kelingking menjadi panjang, suatu tanda bahwa mereka tak pernah melakukan pekerjaan tangan. Mereka hidup dalam kemewahan dirumah-rumah besar yang didepan pintunya dipasang meriam. Mereka memelihara sejumlah besar pelayan dan penjaga.
Hegemoni orang kaya berlatar belakang pedagang ini di Aceh semakin hari semakin kuat. Mereka dapat mengatur kekuasaan. Seorang Sultan yang tak mereka sukai bisa mereka lenyapkan dengan membunuhnya secara halus. Waktu itu bila ada Sultan yang berkuasa hingga dua tahun termasuk hal yang luar biasa. Seorang sultan waktu itu tidak punya wewenang mutlak. Orang-orang kebanyakan bisa mendapatkan alternatif lain untuk memperoleh perlindungan.Kekuasaan besar orang kaya ini dibidang ekonomi dan pemrintahan tidak berhasil menstabilkan jalannya pemerintahan. Aveh berguncang terus.
Pada tahun 1589 Raja Baru bernama Al Mukammil membasmi para orangkaya ini. Alasan Raja baru ini adalah dia tidak mau rakyat menderita karena pertikaian yang terus menerus dikalangan atas. Aceh kembali stabil, perlindungan mutlak seorang raja tampil dominan di Aceh. Tahun 1607 dibawah kepemimpinan Iskandar Muda Aceh semakin berjaya. Ia menaklukkan Sumatera Timur, tanah melayu hingga Melaka guna menguasai hasil bumi untuk ekspor.
Pedagang asing yang ingin berdagang harus berurusan dulu dengannya. Dia mendesak pedagang asing itu untuk membeli lada dan rempah-rempah lainnya milik negara dengan harga tinggi. Aceh tampil sebagai negara yang kuat dengan tata pemerintahan yang rapi. Dia dijuluki sebagai penguasa yang agung. Akibat monopoli negara ini saudagar-saudagar Aceh semakin sulit hidupnya bahkan dibandingkan dengan pedagang yang datang dari luar seperti dari India, Arab dan Cina.
Kekuasaan dan kecermelangan Aceh ternyata berhenti hingga Iskandar Muda. Dia tidak menyiapkan penggantinya. Ini mungkin saja dilatarbelakangi keinginan untuk menjadi penguasa mutlak di Aceh. Dia terlupa bahwa tidak ada kekuasaan yang kekal dan abadi. Aceh kemudian lambat laun sirna dari percaturan perdagangan dunia, hingga Belanda akhirnya berhasil menguasai Aceh sepenuhnya.
Sejarah Aceh ini mengingatkan kita semua bahwa kekuasaan tidak ada yang abadi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengutamakan keberlangsungan negaranya daripada keberlangsungan kekuasaannya.
Dengan hebatnya tata niaga perdagangan waktu itu melahirkan kalangan orang kaya di negara Aceh. Mereka kemudian masuk ke dalam sistem kenegaraan. Mereka bercirikan membiarkan kuku ibu jari dan kelingking menjadi panjang, suatu tanda bahwa mereka tak pernah melakukan pekerjaan tangan. Mereka hidup dalam kemewahan dirumah-rumah besar yang didepan pintunya dipasang meriam. Mereka memelihara sejumlah besar pelayan dan penjaga.
Hegemoni orang kaya berlatar belakang pedagang ini di Aceh semakin hari semakin kuat. Mereka dapat mengatur kekuasaan. Seorang Sultan yang tak mereka sukai bisa mereka lenyapkan dengan membunuhnya secara halus. Waktu itu bila ada Sultan yang berkuasa hingga dua tahun termasuk hal yang luar biasa. Seorang sultan waktu itu tidak punya wewenang mutlak. Orang-orang kebanyakan bisa mendapatkan alternatif lain untuk memperoleh perlindungan.Kekuasaan besar orang kaya ini dibidang ekonomi dan pemrintahan tidak berhasil menstabilkan jalannya pemerintahan. Aveh berguncang terus.
Pada tahun 1589 Raja Baru bernama Al Mukammil membasmi para orangkaya ini. Alasan Raja baru ini adalah dia tidak mau rakyat menderita karena pertikaian yang terus menerus dikalangan atas. Aceh kembali stabil, perlindungan mutlak seorang raja tampil dominan di Aceh. Tahun 1607 dibawah kepemimpinan Iskandar Muda Aceh semakin berjaya. Ia menaklukkan Sumatera Timur, tanah melayu hingga Melaka guna menguasai hasil bumi untuk ekspor.
Pedagang asing yang ingin berdagang harus berurusan dulu dengannya. Dia mendesak pedagang asing itu untuk membeli lada dan rempah-rempah lainnya milik negara dengan harga tinggi. Aceh tampil sebagai negara yang kuat dengan tata pemerintahan yang rapi. Dia dijuluki sebagai penguasa yang agung. Akibat monopoli negara ini saudagar-saudagar Aceh semakin sulit hidupnya bahkan dibandingkan dengan pedagang yang datang dari luar seperti dari India, Arab dan Cina.
Kekuasaan dan kecermelangan Aceh ternyata berhenti hingga Iskandar Muda. Dia tidak menyiapkan penggantinya. Ini mungkin saja dilatarbelakangi keinginan untuk menjadi penguasa mutlak di Aceh. Dia terlupa bahwa tidak ada kekuasaan yang kekal dan abadi. Aceh kemudian lambat laun sirna dari percaturan perdagangan dunia, hingga Belanda akhirnya berhasil menguasai Aceh sepenuhnya.
Sejarah Aceh ini mengingatkan kita semua bahwa kekuasaan tidak ada yang abadi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengutamakan keberlangsungan negaranya daripada keberlangsungan kekuasaannya.
Rabu, 08 Agustus 2012
kejayaan aceh
NANGGROE ACEH DARUSSALAM nakeuh saboh nanggroe yang meudelat peunoh ateuh tanoh,angen,ie di bumoe aceh,nanggroe yang pernah meujaya dan nanggroe yang pernah di ye' uleh lawan lawan bansa laen.
Langganan:
Postingan (Atom)