Minggu, 16 Juni 2013

TENTANG ACEH

Kesultanan Aceh


Kesultanan Aceh Darussalam
  1496–1903
Bendera Cap Sikureueng
Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, 1608-1637.
Ibukota Bandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh)
(1496–1873)
Keumala
(1873-1903)
Bahasa Aceh, Melayu, Arab, Gayo, Alas
Agama Islam
Pemerintahan Monarki absolut
Sultan
 -  1496-1528 Ali Mughayat Syah
 -  1874-1903 Alaidin Muhammad Daud Syah
Sejarah
 -  Penobatan sultan pertama 1496
 -  Menyerah 1903
Mata uang Koin emas dan perak lokal
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.


Pemerintahan

Sultan Aceh

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.

Ulèëbalang & Pembagian Wilayah

Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dll yang sudah eksis. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Syaikh Abdurrauf Assinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe) :
  • Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
  • Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
  • Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang adalah wakil Sultan dalam urusan nikah dan talak, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.Sultan memerintahkan supaya Ulèëbalang benar-benar menjalankan sembahyang lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.

Sejarah

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.

Masa Kejayaan

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam dengan nama kecil Dharmawangsa Tun Pangkat. Meskipun lebih populer dengan nama Iskandar Muda, sebenarnya gelar utamanya Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka meskipun tak mampu mengusir secara permanen. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Malaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang
Dari beberapa catatan penjelajah yang datang ke Aceh, Sultan ini meskipun sangat mahsyur sekarang, ternyata di masa itu amat sangat dibenci oleh rakyat. Iskandar Muda dianggap zalim dan berkelakuan labil, tak segan menyuruh eksekusi orang yang dibencinya. Orang Kaya sekelilingnya benar takut sehingga sangat sedikit berkomunikasi dengan dunia luar. Pada masa Iskandar Muda pula Aceh mengalami kekurangan populasi sehingga Iskandar Muda memerintahkan migrasi paksa masyarakat dari Malaya ke Aceh. Ada sebagian selamat ada pula mati kelaparan.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.

Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Setelah mangkatnya Iskandar Tsani, para orang kaya dan Ulee Balang Aceh ingin mengurangi kontrol ketat Sultan sehingga mereka mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah meski ada pewaris tahta saat itu yaitu Panglima Polem I. Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulee Balang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan Sultan di Ulee Lheu. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Kekacauan ini berakhir dengan naiknya Sultan Ibrahim, seorang mantan pegawai Perusahaan India Timur (EIC) menjadi penguasa Aceh.
Kemunduran terjadi lagi dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya dan Habib Abdurrahman gagal total. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun Sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicuragai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Bengkulu.
Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Belanda, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. April 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Ujong Batee menandai awal invasi Belanda Aceh.

Perang Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1873-1903.
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para ulama, dan hormat kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Gubernur Jendral Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, mendapat pangkat Tuanku Tijan, dan bersama wakilnya, Hendrikus Colijn, yang mendepat pangkat Tuanku Niman untuk menata Aceh.
Pada tahun 1903 Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud yang merupakan Wali Negara juga meyerah di tahun yang sama. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun. Sejak itu, perlawan terhadap Belanda menurun drastis di utara Aceh namun tetap membara di selatan Aceh dibawah pimpinan Teuku Cut Ali.

Tradisi kesultanan

Kamis, 16 Agustus 2012

Aceh Miliki Lagu Kebangsaan dan Bendera

Bendera alam peudeung/ Alam pedang, kesamaan bendera ini dengan bendera Turkey diakibatkan hubungan Aceh Turkey tempo dulu sangat harmonis.

Awal mula perperangan Aceh dengan belanda (penjajah) pada tahun 1874 akibat keserakahannya belanda memutuskan perang dengan Aceh, padahal mereka telah mengakui Aceh sebagai Negara yang berdaulat, bukan saja Belanda yang mengakuinya Inggris dan Turkey serta Amerika juga mangakui. Belanda juga mengingkari perjanjian dengan Aceh, oleh sebab itu mereka berperang melawan Rakyat Aceh, dan sampailah pada saat kemerdekaan RI yang mana Aceh masuk sebagai bagian/ Provinsai dari Indonesia.

Perang bukan berhenti, tapi tahun 1976, Hasan Tiro menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan Aceh, yang menurut mantan Kombatan mereka sering menyebut Hasan Tiro sebagai Waly Nanggroe/ Waly Negara Aceh yang dipertuan agung Paduka Yang Mulia Tgk Hasan Muhammad Ditiro, yang Bergelar, Al Mukammil, dan ada dua gelar lagi. Dan inilah yang sedang di atur dalam UU Waly Nanggroe.

Perang bukan berhenti, tapi tahun 1976, Hasan Tiro menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan Aceh, yang menurut mantan Kombatan mereka sering menyebut Hasan Tiro sebagai Waly Nanggroe/ Waly Negara Aceh yang dipertuan agung Paduka Yang Mulia Tgk Hasan Muhammad Ditiro, yang Bergelar, Al Mukammil, dan ada dua gelar lagi. Dan inilah yang sedang di atur dalam UU Waly Nanggroe.

Pada tanggal 15 Agustus 2005 setelah 30 tahun berperang dengan Pemerintah, Aceh sekarang pulih dari perang, sekarang Aceh aman sentosa dan bagi saudara dari luar Aceh yang ingin menikmati pantai dan Alam Aceh silahkan kerana Aceh Sudah Aman.

Mengenai bendera, lambang dan lagu kebangsaan Aceh, boleh digunakan dan tidak bertentangan dengan MOU yang telah ditanda tangani oleh kedua belah pihak RI dan GAM. Yang tidak boleh hanya mantan GAM tidak boleh menggunakan baju militer pada saat itu.

mengenai lagu kebangsaan, saya belum tau apa judul dan bagaimana liriknya.

Jayalah Aceh aman selalu Rakyat hidup bahagia dan Makmu.

Lambang : Negeri Aceh Darussalam

Buraq,salah satu hewan yang berwatak rajin dan setia dan juga gesit,,
ini mengartikan bahwa masyarakat aceh terkenal dengan kegigihan
dalam berbagai hal baik pekerjaan maupun menuntut ilmu.

Singa merupakan lambang yang digunakan sebagai pemberani dan buas….
ini melambangkan watak masyarakat aceh yang pemberani. oleh itu jangan pernah mengusik mereka… karena bisa bahaya

Bulan Bintangitu merupakan simbol islam ini menunjukkan bahwa megara aceh adalah negara islam tolen dan tercatat sebagai negara yang pertama yang menganut agama islam diasia tenggara serta landasan negaranya juga berlandaskan Al’quran dan Al hadist.

Perisai dan Pedang merupakan lambang kedaulatan negara aceh yang
terkenal pada masa kejayaannya dibawah penguasa sultan iskandar muda sebagai salah satu negara terkuat didunia yang ditakuti oleh lawan lawannya.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Masjid Baiturrahman; “Saksi Sejarah Kisah Panjang Bumi Serambi”


Menelusuri sejarah Masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, Laksana melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. Mulai masa kesultanan, Penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. DOM, Tsunami, dan Perjanjian Damai, Rumah Allah ini menyaksikan semuanya.

Masjid Raya Baiturrahman adalah simbol Aceh. Masjid ini menjadi saksi bisu keganasan badai Tsunami, 26 Desember 2004, yang menewaskan ratusan ribu warga Aceh. Jika Anda ke Banda Aceh, pastikan menyaksikan kemegahan Masjid Raya Baiturrahman di samping arsitekturnya yang indah, juga letaknya persis di jantung kota.


Karena itu, terasa belum lengkap jika berkunjung ke kota paling ujung Pulau Sumatra itu bila belum menyaksikan keindahan masjid yang merupakan termasuk salah satu masjid terindah di Asia Tenggara.

Sebagai masjid kebanggaan rakyat Aceh sejak dahulu sampai sekarang, Masjid Raya Baiturrahman menyimpan sejarah yang sangat panjang dan menarik. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh. Ada yang menyebutkan nama Masjid Raya Baiturrahman ini berasal dari nama masjid raya yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada 1612 M. Riwayat lain menyebutkan bahwa masjid ini sudah dibangun jauh sebelumnya. Sultan Iskandar Muda hanya melakukan perbaikan.


Corak Persia, Model India
Secara umum, arsitektur Masjid Raya Baiturrahman bercorak eklektik, yaitu suatu rancangan yang dihasilkan dari gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negara sehingga bangunan masjid menjadi begitu megah dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini diposisikan di tengah lapangan yang luas dan terbuka sehingga semua bagian masjid bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan.

Bagian pertama masjid adalah gerbang yang posisinya menempel dengan unit utama. Setelah gerbang, terdapat serambi yang berbentuk persegi panjang. Bagian depan, kiri, dan kanan serambi dikelilingi oleh tangga yang membentuk huruf U. Pada ujung tangga depan, terdapat tiga bukaan (jendela tanpa pintu) yang dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Dan, antara tiang satu dengan lainnya dihubungkan dengan pintu gerbang patah model Persia.

Karena ada empat tiang, itu berarti terdapat tiga pintu gerbang. Pada bagian atas dan sisi pintu gerbang, terdapat hiasan relief lengkung-legkung, seperti corak Arabesk (motif daun, cabang, dan pohon). Di atas ketiga pintu gerbang ini, terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang seperti penampang sebuah tangga. Corak ini merupakan model khas rumah klasik Belanda.

Pada setiap jenjang, dihias dengan miniatur sebuah gardu atau cungkup yang dihiasi kubah bawang pada bagian puncaknya. Corak ini menunjukkan adanya pengaruh India. Jadi, dari bagian luar saja, sudah begitu jelas nuansa ekletik bangunan masjid ini. Sisi kiri dan kanan serambi mempunyai dua tiang yang dihubungkan oleh sebuah pintu gerang, dekorasinya sama dengan serambi bagian depan.


Setelah melewati serambi, kemudian masuk ke ruang utama masjid yang digunakan untuk shalat. Namun, sebelum masuk ke ruang utama ini, terdapat lagi gerbang dan tiang yang sama dengan bagian depan. Gerbang tersebut tanpa pintu, seperti kebanyakan masjid kuno di India.

Bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar yang diatapi oleh kubah utama yang indah dan megah bercorak bawang. Pucuknya dihiasi cunduk, seperti masjid-masjid kuno di India. Penyangga kubah berdenah segi delapan. Pada masing-masing sisinya, terdapat sepasang jendela yang dipergunakan sebagai sirkulasi udara.

Pada bagian bawah, terdapat tritisan berdenah segi delapan. Pada bagian kiri dan kanan ruang shalat utama ini, terdapat unit sayap kembar sehingga bangunan ini menjadi simetris. Atap masjid berbentuk limasan berlapis dua. Pada jendela yang terdapat di masjid ini, tampak sekali pengaruh Moorish, terutama dari hiasan yang bercorak intricate.

Tak hanya itu, keberadaan kolam air yang berada di depan masjid makin menambah indah Masjid Baiturrahman. Sebab, posisinya yang berada di tengah-tengah jalan antara kiri dan kanan dengan luas sekitar lima hingga tujuh meter tersebut turut menambah keindahan dan kemegahan masjid warga Banda Aceh itu.

Dirancang Arsitek Belanda-Italia

Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan masjid sebagian didatangkan dari Penang – Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma.

Pembangunan kembali masjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh masjid ini kembali diperluas. Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka masjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nanggroe beralih pada Indonesia.

Pada 1957, Setelah Indonesia merdeka, masjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur. Pada kurun 1992-1995, masjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, masjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.

Mengikuti Perjalanan Sejarah Aceh

Panas terik kota Banda Aceh serasa langsung enyah begitu kaki menginjak halaman masjid Baiturrahman. Udara dalam masjid berkubah lima ini sejuk. Lima pintu dan jendela yang lebar, kubah tinggi serta ruang dalam masjid yang luas membuat udara bergerak bebas. Januari lalu, rumah ibadah ini baru saja tuntas berbenah dari kerusakan akibat tsunami.



Sisa-sisa bencana itu tak terlihat lagi. Tapi sejarah mencatat, sekali lagi Baiturrahman melewati satu babak sejarah masyarakat Aceh. Masjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan masjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok masjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.

Masjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun masjid ini pada abad ke 13. Namun versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Tapi nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu masjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik Masjid mengikuti Sejarah Bumi Serambi Mekah. Bangunan sekarang bukan lagi bangunan zaman Kesultanan.

Di samping sebagai tempat ibadah; pada masa penjajahan, Masjid Raya Baiturrahman berfungsi sebagai markas pertahanan terhadap serangan kompeni. Fungsi tersebut mulai terasa semasa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870-1874). Di masjid ini, sering pula diadakan musyawarah besar untuk membicarakan strategi penyerangan dan kemungkinan serangan tentara Belanda terhadap Kesultanan Aceh.

Saat Pemerintah Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya di bumi Aceh pada 1873, Kesultanan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alaidin Mahmud Syah menolak mentah-mentah kedaulatan pemerintahan penjajah tersebut. Penolakan ini membuat pihak Belanda merasa tersinggung dan murka. Buntutnya, Pemerintah Hindia Belanda memaklumatkan perang terhadap Kesultanan Aceh.

Karena posisinya yang sangat penting dan strategis, tidak pelak Masjid Raya Baiturrahman menjadi ajang perebutan. Tercatat dalam sejarah, dua kali masjid kebanggaan kaum Muslim di Tanah Rencong ini dibakar Belanda.



Pertama, pada 10 April 1873, ketika pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran sebagai upaya balas dendam atas kekalahan mereka. Dalam serangan besar itu, Masjid Raya Baiturrahman tidak saja berhasil direbut, bahkan kemudian dibakar sebagian. Dan pada saat itu terjadi pertempuran besar antara tentara Aceh dengan tentara Belanda. Terjadi tembak menembak. Sehingga demikian gugurlah perwira tinggi Belanda bernama Kohler” Pertempuran di masjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman masjid. Letak prasasti di bawah pohon Geuleumpang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang masjid.

Kedua, pada 6 Januari 1874. Meskipun masjid ini dipertahankan mati-matian oleh seluruh rakyat Aceh, karena keterbatasan dan kesederhanaan persenjataan, akhirnya rakyat Aceh harus merelakan masjidnya jatuh ke tangan musuh. Tidak hanya direbut, kali ini pihak penjajah membakar habis bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Saat bersamaan, Belanda juga mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh sudah berhasil ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

Namun, untuk mengambil hati rakyat Aceh, Pemerintah Hindia Belanda berjanji akan membangun kembali masjid yang telah hancur itu. Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden.

Saksi Bisu Kedahsyatan Tsunami

Masjid Raya Baiturrahman seakan menjadi saksi bisu peristiwa kelam yang telah meluluhlantakkan wilayah Provinsi Aceh beserta seluruh isinya pada 26 Desember 2004. Masjid yang terletak di tengah Kota Banda Aceh ini merupakan satu bukti kebesaran Tuhan yang tetap kokoh dan berdiri tegak kendati gempa dan gelombang tsunami berkekuatan 9,0 skala richter melanda.

Walau akibat gempa itu meninggalkan beberapa keretakan di dinding masjid, hal itu tidak mengurangi keindahan dan keunikan masjid kebanggan warga Aceh ini. Bahkan, ketika Republika mengunjungi masjid ini setahun pascatsunami, sisa-sisa keretakan masih ada. Namun, hal itu dijadikan warga sebagai bentuk peringatan agar senantiasa mengingat kebesaran Tuhan.

Sulaiman, salah seorang jamaah masjid tersebut, mengatakan, saat tsunami terjadi, Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat menyelamatkan diri bagi warga yang berlindung di rumah Allah tersebut.


Meski gelombang tsunami yang terjadi saat itu tingginya mencapai puluhan meter, airnya hanya masuk ke halaman masjid sebatas pinggang dan tidak sampai masuk ke dalam bangunan masjid.

Namun, tidak demikian dengan bangunan gedung dan rumah toko (ruko) di sekitar lingkungan masjid. Seluruh bangunan yang ada di kiri dan kanan masjid tenggelam, kecuali yang ketinggiannya di atas 20 meter, dan semuanya rusak.



Utuhnya masjid ini seharusnya menambah keyakinan bagi umat manusia, khususnya umat Islam untuk mempertebal keimanannya, karena kuasa-Nya sudah ditunjukkan dengan menjaga tempat ibadah bagi pengikut Nabi Muhammad tersebut.

Usai tsunami yang melanda wilayah Aceh ini, Masjid Raya Baiturrahman kembali direnovasi karena mengalami kerusakan walaupun tidak terlalu parah. Renovasi tersebut dilakukan pada tahun 2005. Semua itu menghabiskan dana Rp. 20 milyar. Pada 15 Januari 2007 proses perbaikan dinyatakan resmi selesai. Kini masjid Baiturahman seolah habis bersolek, tampil cantik kian menawan.

Jejak Aceh di Tanah Arab



”Asyi”, sebutan marga Aceh dikalangan orang Arab. Gelar Asyi ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas bagi setiap orang Aceh di Arab Saudi yang terhormat, sehingga gelar "al-Asyi" ini kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu marga Aceh yang wujud di Tanah Arab.




Sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.

Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.

Kita akan menguak tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah ini.

Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).

Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

Utusan Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.



Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.

Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.


Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.



Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.


Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :


  • Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',

  • Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,

  • Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),

  • Wakaf Muhammad Abid Asyi,

  • Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,

  • Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,

  • Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,

  • Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,

  • Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,

  • Rumah Wakaf di Taif,

  • Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.

  • Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,

  • Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.

  • Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.

  • Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,

  • Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.


Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.

Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi.

Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).

Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.

Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.




Mekkah Tempo Dulu


Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.

Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.

M. Adli AbdullahPenulis adalah sejarawan dan pemerhati sejarah Aceh

Jumat, 10 Agustus 2012

Belajar dari Kecemerlangan Aceh di Abad ke-16


Abad ke 16 Aceh dibawah kepemimpinan Ala’addin Ri’ayat Syah Al Kahar dibangun menjadi negara yang kukuh dan menguasai perdagangan antara Aceh dan Laut Merah. Bahkan ditahun 1567 Aceh menjalin aliansi dengan Turki. Jalur perdagangan Aceh dan Laut merah serta Malaka kala itu adalah jalur yang sibuk dengan ekspor impor.

Dengan hebatnya tata niaga perdagangan waktu itu melahirkan kalangan orang kaya di negara Aceh. Mereka kemudian masuk ke dalam sistem kenegaraan. Mereka bercirikan membiarkan kuku ibu jari dan kelingking menjadi panjang, suatu tanda bahwa mereka tak pernah melakukan pekerjaan tangan. Mereka hidup dalam kemewahan dirumah-rumah besar yang didepan pintunya dipasang meriam. Mereka memelihara sejumlah besar pelayan dan penjaga.

Hegemoni orang kaya berlatar belakang pedagang ini di Aceh semakin hari semakin kuat. Mereka dapat mengatur kekuasaan. Seorang Sultan yang tak mereka sukai bisa mereka lenyapkan dengan membunuhnya secara halus. Waktu itu bila ada Sultan yang berkuasa hingga dua tahun termasuk hal yang luar biasa. Seorang sultan waktu itu tidak punya wewenang mutlak. Orang-orang kebanyakan bisa mendapatkan alternatif lain untuk memperoleh perlindungan.Kekuasaan besar orang kaya ini dibidang ekonomi dan pemrintahan tidak berhasil menstabilkan jalannya pemerintahan. Aveh berguncang terus.

Pada tahun 1589 Raja Baru bernama Al Mukammil membasmi para orangkaya ini. Alasan Raja baru ini adalah dia tidak mau rakyat menderita karena pertikaian yang terus menerus dikalangan atas. Aceh kembali stabil, perlindungan mutlak seorang raja tampil dominan di Aceh. Tahun 1607 dibawah kepemimpinan Iskandar Muda Aceh semakin berjaya. Ia menaklukkan Sumatera Timur, tanah melayu hingga Melaka guna menguasai hasil bumi untuk ekspor.

Pedagang asing yang ingin berdagang harus berurusan dulu dengannya. Dia mendesak pedagang asing itu untuk membeli lada dan rempah-rempah lainnya milik negara dengan harga tinggi. Aceh tampil sebagai negara yang kuat dengan tata pemerintahan yang rapi. Dia dijuluki sebagai penguasa yang agung. Akibat monopoli negara ini saudagar-saudagar Aceh semakin sulit hidupnya bahkan dibandingkan dengan pedagang yang datang dari luar seperti dari India, Arab dan Cina.

Kekuasaan dan kecermelangan Aceh ternyata berhenti hingga Iskandar Muda. Dia tidak menyiapkan penggantinya. Ini mungkin saja dilatarbelakangi keinginan untuk menjadi penguasa mutlak di Aceh. Dia terlupa bahwa tidak ada kekuasaan yang kekal dan abadi. Aceh kemudian lambat laun sirna dari percaturan perdagangan dunia, hingga Belanda akhirnya berhasil menguasai Aceh sepenuhnya.

Sejarah Aceh ini mengingatkan kita semua bahwa kekuasaan tidak ada yang abadi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengutamakan keberlangsungan negaranya daripada keberlangsungan kekuasaannya.

Rabu, 08 Agustus 2012

kejayaan aceh

NANGGROE ACEH DARUSSALAM nakeuh saboh nanggroe yang meudelat peunoh ateuh tanoh,angen,ie di bumoe aceh,nanggroe yang pernah meujaya dan nanggroe yang pernah di ye' uleh lawan lawan bansa laen.